Oleh: Dr. Marzuki (FISE-UNY) Abstrak Fungsi kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. U...
Oleh: Dr. Marzuki (FISE-UNY)
Abstrak
Fungsi kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah
dan sebagai hamba Allah. Untuk melaksanakan kedua fungsi ini manusia
harus membekali dirinya secara cukup, terutama bekal ilmu. Dengan bekal
inilah manusia dapat memerankan dirinya dalam rangka membangun hubungan
dengan Tuhannya (Khaliq) maupun dengan sesamanya (makhluq). Cara yang
bisa ditempuh adalah melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhkan
diri dari seluruh larangan-Nya. Inilah konsep takwa dalam Islam yang dijabarkan dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yakni aqidah, syariah, dan akhlak. Ketiga kerangka ajaran ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Aqidah
menjadi fondasi yang menjadi tumpuan berdirinya bangunan syariah dalam
mencapai tujuan akhir akhlak. Karena itu, penerapan akhlak mulia dalam
berhubungan antar sesama manusia tidak bisa dilepaskan dari kerangka
aqidah dan syariah. Ketika orang melakukan hubunga dengan sesamanya,
baik dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, maupun dengan
masyarakatnya tetap harus didasari oleh aqidah dan syariah yang benar,
sehingga tercapai akhlak mulia yang sebenarnya.
Pendahuluan
Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad
Saw. memiliki ajaran yang paling lengkap di antara agama-agama yang
pernah diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia. Kelengkapan Islam
ini dapat dilihat dari sumber utamanya, al-Quran,
yang isinya mencakup keseluruhan isi wahyu yang pernah diturunkan
kepada para Nabi. Isi al-Quran mencakup keseluruhan aspek kehidupan
manusia, mulai dari masalah aqidah, syariah, dan akhlak, hingga
masalah-masalah yang terkait dengan ilmu pengetahuan.
Semua umat Islam harus mendasari keislamannya dengan pengetahuan
agama (Islam) yang memadai, minimal sebagai bekal untuk menjalankan
fungsinya di muka bumi ini, baik sebagai khalifatullah (QS. al-Baqarah (2): 30) maupun sebagai ‘abdullah (QS.
al-Dzariyat (51): 56). Sebagai khalifah Allah, manusia harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan mengenai masalah keduniaan, sehingga dapat
memfungsikannya secara maksimal. Sedang sebagai hamba Allah, manusia
harus memiliki bekal ilmu agama untuk dapat mengabdikan dirinya kepada
Allah dengan benar. Jika seorang Muslim
dapat membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup, baik pengetahuan
umum maupun pengetahuan agama, dan sekaligus dapat mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, maka ia akan menjadi seorang Muslim yang kaffah/utuh (QS. al-Baqarah (2): 208).
Untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara mendasar, maka
setiap Muslim harus memahami dan mengamalkan dasar-dasar Islam.
Dasar-dasar inilah yang kemudian oleh sebagian ulama disebut kerangka
dasar ajaran Islam. Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat
dengan tujuan ajaran Islam. Kerangka ini meliputi tiga konsep kajian
pokok, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam ini berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan (HR. Muslim).
Konsep Akhlak Mulia dalam Islam
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam
yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka
dasar lainnya. Akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses
penerapan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak mulia merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya
dibangun dengan baik. Tidak mungkin akhlak mulia ini akan terwujud pada
diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang baik.
Nabi Muhammad Saw. dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa
kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan
akhlak manusia yang mulia. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana,
tetapi misi yang agung yang ternyata untuk merealisasikannya membutuhkan
waktu yang cukup lama, yakni kurang lebih 23 tahun. Nabi melakukannya
mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun,
lalu Nabi mengajak untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap.
Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi dapat
merealisasikan akhlak mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.
Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. al-Qalam (68): 4). Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang
membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk
dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan
(Ainain, 1985: 186).
Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika.
Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata
krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178). Satu kata lagi yang
sekarang menjadi lebih polpuler adalah karakter yang juga memiliki
makna yang hampir sama dengan akhlak, moral, dan etika. Pada dasarnya
secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa,
yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau
dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya
etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji
sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk
menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa’id, 1980:
23-24). Etika memandang perilaku secara universal, sedang moral secara
memandangnya secara lokal.
Adapun karakter lebih ditekankan pada aplikasi nilai-nilai positif
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, karakter lebih mengarah kepada sikap
dan perilaku manusia. Konsep pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak
tahun 1900-an. Thomas Lickona (dalam Ary Ginanjar Agustian, 2005)
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang
berjudul The Return of Character Education. Melalui buku ini,
ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter, menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan Karakter
tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada
anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau
melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter membawa misi yang sama
dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan Moral.
Sumber untuk menentukan akhlak dalam Islam, apakah termasuk akhlak
yang mulia atau akhlak yang tercela, sebagaimana keseluruhan ajaran
Islam lainnya adalah al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Baik dan
buruk dalam akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut kedua
sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika
ukurannya adalah manusia, maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda.
Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum
tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut
sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik.
Kedua sumber ajaran Islam yang pokok itu (al-Quran dan Sunnah) diakui
oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tinggal mentransfernya
dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Keduanya hingga sekarang masih
terjaga keautentikannya, kecuali Sunnah Nabi yang memang dalam
perkembangannya banyak ditemukan hadits-hadits yang tidak benar
(dla’if/palsu). Melalui kedua sumber inilah kita dapat memahami bahwa
sifat-sifat sabar, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk
sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, kita juga memahami bahwa
sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub,takabur, dan hasad merupakan
sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai
nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan
nilai yang berbeda-beda.
Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain selain
al-Quran dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia.
Standar lain yang dapat dijadikan untuk menentukan baik dan buruk adalah
akal dan nurani manusia serta pandangan umum masyarakat. Manusia dengan
hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab Allah
memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid (QS. al-A’raf
(7): 172 dan QS. al-Rum (30): 30). Dengan fitrah tauhid inilah manusia
akan mencintai kesucian dan cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya
selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, karena kebenaran itu tidak akan
dicapai kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun
demikian, harus diakui bahwa fitrah manusia tidak selalu dapat berfungsi
dengan baik. Pendidikan dan pengalaman manusia dapat memengaruhi
eksistensi fitrah manusia itu. Dengan pengaruh tersebut tidak sedikit
fitrah manusia menjadi kotor dan tertutup sehingga tidak lagi dapat
menentukan baik dan buruk dengan benar. Karena itulah ukuran baik dan
buruk tidak dapat diserahkan kepada hati nurani belaka, tetapi harus
dikembalikan kepada wahyu yang terjamin kebenarannya (Yunahar Ilyas,
2004: 4).
Akal pikiran manusia juga sama kedudukannya seperti hati nurani di
atas. Kebaikan atau keburukan yang diperoleh akal bersifat subjektif dan
relatif. Karena itu, akal manusia tidak dapat menjamin ukuran baik dan
buruknya akhlak manusia. Hal yang sama juga terjadi pada pandangan umum
masyarakat. Yang terakhir ini juga bersifat relatif, bahkan nilainya
paling rendah dibandingkan kedua standar sebelumnya. Hanya masyarakat
yang memiliki kebiasaan (tradisi) yang baik yang dapat memberikan ukuran
yang lebih terjamin.
Ruang Lingkup Akhlak Mulia dalam Islam
Secara umum akhlak Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq al-mahmudah/al-karimah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-madzmumah/al-qabihah).
Akhlak mulia harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sedang
akhlak tercela harus dijauhi jangan sampai dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan
Allah). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa
macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk
hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak
terhadap benda mati.
Orang Islam yang memiliki aqidah yang benar dan kuat, berkewajiban
untuk berakhlak baik kepada Allah Swt. dengan cara menjaga kemauan
dengan meluruskan ubudiyah dengan dasar tauhid (QS. al-Ikhlash (112):
1–4; QS. al-Dzariyat (51): 56), menaati perintah Allah atau bertakwa
(QS. Ali ‘Imran (3): 132), ikhlas dalam semua amal (QS. al-Bayyinah
(98): 5), cinta kepada Allah (QS. al-Baqarah (2): 165), takut kepada
Allah (QS. Fathir (35): 28), berdoa dan penuh harapan (raja’) kepada
Allah Swt. (QS. al-Zumar (39): 53), berdzikir (QS. al-Ra’d (13): 28),
bertawakal setelah memiliki kemauan dan ketetapan hati (QS. Ali ‘Imran
(3): 159, QS. Hud (11): 123), bersyukur (QS. al-Baqarah (2): 152 dan QS.
Ibrahim (14): 7), bertaubat serta istighfar bila berbuat kesalahan (QS.
al-Nur (24): 31 dan QS. al-Tahrim (66): 8), rido atas semua ketetapan
Allah (QS. al-Bayyinah (98): 8), dan berbaik sangka pada setiap
ketentuan Allah (QS. Ali ‘Imran (3): 154).
Akhlak terhadap sesama manusia harus dimulai dari akhlak terhadap
Rasulullah Saw., sebab Rasullah yang paling berhak dicintai, baru
dirinya sendiri. Di antara bentuk akhlak kepada Rasulullah adalah cinta
kepada Rasul dan memuliakannya (QS. al-Taubah (9): 24), taat kepadanya
(QS. al-Nisa’ (4): 59), serta mengucapkan shalawat dan salam kepadanya
(QS. al-Ahzab (33): 56). Namun demikian akhlak terhadap Rasulullah Saw.
ini juga sangat terkait dengan Akhlak terhadap Allah Swt., sebab apa pun
yang bersumber dari Allah (al-Quran) dan Rasulullah (sunnah) harus
dijadikan dasar dalam bersikap dan berpreilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Selanjutnya seorang Muslim harus berakhlak mulia terhadap sesama
manusia, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarganya, dan
terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Ketiga akhlak ini
sangat penting artinya bagi kita, karena sikap dan perilaku terkait
dengan hubungan antar sesama ini yang tampak di permukaan yang sering
dinilai oleh masyarakat pada umumnya. Ketiga bentuk akhlak ini akan
dibicarakan secara rinci pada uraian selanjutnya.
Yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembinaan akhak mulia adalah
akhlak terhadap lingkungan. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah
segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, yakni binatang, tumbuhan,
dan benda mati. Akhlak yang dikembangkan adalah cerminan dari tugas
kekhalifahan di bumi, yakni untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan
alam terus berjalan sesuai dengan fungsi ciptaan-Nya. Dalam al-Quran
Surat al-An’am (6): 38 dijelaskan bahwa binatang melata dan
burung-burung adalah seperti manusia yang menurut Qurtubi tidak boleh
dianiaya (Shihab, 1996: 270). Baik di masa perang apalagi ketika damai
akhlak Islam menganjurkan agar tidak ada pengrusakan binatang dan
tumbuhan kecuali terpaksa, tetapi sesuai dengan sunnatullah dari tujuan
dan fungsi penciptaan (QS. al-Hasyr (59): 5).
Pembinaan Akhlak Mulia dalam Ber-hablun Minannas
Hablun minannas adalah berhubungan antar sesama manusia.
Sebagai umat beragama, setiap orang harus menjalin hubungan baik antar
sesamanya setelah menjalin hubungan baik dengan Tuhannya. Dalam
kenyataan sering kita saksikan dua hubungan ini tidak padu. Terkadang
ada seseorang yang dapat menjalin hubungan baik dengan Tuhannya, tetapi
ia bermasalah dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Atau sebaliknya,
ada orang yang dapat menjalin hubungan secara baik dengan sesamanya,
tetapi ia mengabaikan hubungannya dengan Tuhannya. Tentu saja kedua
contoh ini tidak benar. Yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana ia
dapat menjalin dua bentuk hubungan itu dengan baik, sehingga terjadi
keharmonisan dalam dirinya.
Pada prinsipnya ada tiga bahasan pokok terkait dengan pembinaan
akhlak mulia dalam berhubungan antar sesama manusia ini. Bahasan pertama
terkait dengan akhlak manusia terhadap diri sendiri. Akhlak ini
bertujuan untuk membekali manusia dalam bereksistensi diri di hadapan
orang lain dan terutama di hadapan Allah Swt. Bahasan kedua terkait
dengan akhlak manusia dalam kehidupan keluarganya. Akhlak ini bertujuan
membekali manusia dalam hidup di tengah-tengah keluarga dalam posisinya
masing-masing. Dan bahasan ketiga terkait dengan akhlak manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Akhlak ini membekali manusia bagaiman bisa
berkiprah di tengah-tengah masyarakatnya dengan baik dan tetap berpegang
pada nilai-nilai akhlak yang sudah digariskan oleh ajaran Islam.
- 1. Akhlak terhadap diri sendiri
Untuk membekali kaum Muslim dengan akhlak mulia terutama terhadap
dirinya, di bawah akan diuraikan beberapa bentuk akhlak mulia terhadap
diri sendiri dalam berbagai aspeknya. Di antara bentuk akhlak mulia ini
adalah memelihara kesucian diri baik lahir maupun batin. Orang yang
dapat memelihara dirinya dengan baik akan selalu berupaya untuk
berpenampilan sebaik-baiknya di hadapan Allah, khususnya, dan di hadapan
manusia pada umumnya dengan memperhatikan bagaimana tingkah lakunya,
bagaimana penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang dipakainya.
Pemeliharaan kesucian diri seseorang tidak hanya terbatas pada hal yang
bersifat fisik (lahir) tetapi juga pemeliharaan yang bersifat nonfisik
(batin). Yang pertama harus diperhatikan dalam hal pemeliharaan nonfisik
adalah membekali akal dengan berbagai ilmu yang mendukungnya untuk
dapat melakukan berbagai aktivitas dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari. Berbagai upaya yang mendukung ke arah pembekalan akal harus
ditempuh, misalnya melalui pendidikan yang dimulai dari lingkungan
rumah tangganya kemudian melalui pendidikan formal hingga mendapatkan
pengetahuan yang memadai untuk bekal hidupnya (QS. al-Zumar (39): 9).
Setelah penampilan fisiknya baik dan akalnya sudah dibekali dengan
berbagai ilmu pengetahuan, maka yang berikutnya harus diperhatikan
adalah bagaimana menghiasi jiwanya dengan berbagai tingkah laku yang
mencerminkan akhlak mulia. Di sinilah seseorang dituntut untuk berakhlak
mulia di hadapan Allah dan Rasulullah, di hadapan orang tuanya, di
tengah-tengah masyarakatnya, bahkan untuk dirinya sendiri.
Sabar juga ujud dari akhlak mulia terhadap diri sendiri. Sabar
berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena
mengharap rido dari Allah Swt. (al-Qardlawi, 1989: 8). Imam al-Ghazali
mengemukakan, sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan
nafsu yang tumbuhnya atas dorongan ajaran agama. Dengan kata lain, sabar
ialah tetap tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan hawa
nafsu (al-Ghazali, 1995: 236). Macam atau tingkatan sabar menurut Nabi
Muhammad Saw., seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
ad-Dunya, ada tiga tingkatan, yaitu: 1) sabar dalam menghadapi musibah,
2) sabar dalam mematuhi perintah Allah, dan 3) sabar dalam menahan diri
untuk tidak melakukan maksiat. Yang pertama merupakan tingkatan sabar
yang terendah dan yang ketiga merupakan tingkatan sabar yang tertinggi.
Bentuk lain dari akhlak mulia terhadap diri sendiri adalah wara’ dan
zuhud. Menurut al-Jarjani (1988: 252) wara’ berarti menjauhkan hal-hal
yang syubhat (hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya) karena
khawatir akan jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan. Wara’ termasuk
akhlak yang sangat terpuji yang tidak semua orang mampu memilikinya.
Hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan wara’ ini. Dalam
kehidupan modern yang serba gemerlapan seperti sekarang ini, gaya
hedonisme (sangat berorientasi keduniaan) menjadi kecenderungan
kebanyakan orang. Manusia berlomba-lomba dengan kekayaan dan
kehebatannya, meskipun semuanya diperoleh dengan cara yang tidak halal
dan tidak wajar. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan sifat
wara’ yang menuntut seseorang harus hati-hati dalam mencari harta dan
membelanjakannya. Sedangkan zuhud berarti membatasi ambisi-ambisi
duniawi, syukur terhadap setiap anugerah, dan menghindari apa yang telah
diharamkan oleh Allah Swt. (Sultani, 2004: 213). Dengan demikian, zuhud
tidak berarti membuang harta benda dan menolak apa yang dibolehkan,
tetapi zuhud berarti bahwa kita tidak boleh beranggapan bahwa apa saja
yang kita miliki, harta atau kekuasaan, adalah lebih aman dari pada apa
yang ada di sisi Allah Swt. Menurut al-Ghazali (1995: 226), esensi zuhud
adalah menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri
daripadanya dengan penuh kepatuhan kepada Allah Swt. Sikap zuhud seperti
ini akan muncul jika didasari dengan ilmu dan cahaya yang memancar dari
kalbu seseorang serta kelapangan dada dalam memandang dunia. Orang yang
zuhud adalah orang yang tidak menyintai dunia secara berlebihan. Orang
yang zuhud juga bukan orang yang meninggalkan dunia secara total dan ia
menyintai dunia hanya sekedarnya, sebab ada yang lebih berhak untuk
dicintai, yakni Allah Swt. Ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk
mendapatkan cinta dan rido dari Allah Swt.
Bentuk akhlak mulia yang juga penting adalah syaja’ah (berani). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 138) berani diartikan mempunyai
hati yang mantap dan percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya,
kesulitan, dsb. Dengan demikian, berani di sini adalah berani yang
bernilai positif, bukan berani yang bernilai negatif, seperti berani
berbuat kesalahan atau berani yang tujuannya hanya untuk pelampiasan
nafsu belaka. Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau
penakut). Orang yang berani (pemberani) adalah orang yang berani membela
kebenaran dengan resiko apa pun dan takut untuk berbuat yang tidak
benar. Sebaliknya orang yang takut (penakut) adalah orang takut membela
kebenaran. Dari hadits Nabi Saw. (HR. al-Bukhari dan Muslim) terlihat
bahwa ukuran berani atau tidaknya seseorang tidak bisa dilihat dari segi
fisiknya, tetapi dari segi jiwanya. Orang yang memiliki fisik yang
kekar, seperti binaragawan, belum tentu dapat dimasukkan ke dalam sifat
ini. Banyak orang fisiknya kuat tidak memiliki sifat syaja’ah ini. Sebab
keberanian tidak ditentukan dari situ, tetapi dari kekuatan jiwanya
yang selalu menggerakkan untuk berbuat baik, meskipun harus menghadapi
kekuatan-kekuatan di luar. Di antara wujud sikap berani di antaranya
adalah: 1) berani dalam menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah
(jihad fi sabilillah); 2) berani untuk menegakkan kebenaran,
meskipun berbahaya; dan 3) berani untuk mengendalikan hawa nafsu. Untuk
menumbuhkan keberanian pada seorang Muslim, menurut Raid Abdul Hadi
(dalam Yunahar Ilyas, 2004: 118-121), ada tujuh hal yang dapat
dilakukan, yaitu 1) adanya rasa takut kepada Allah Swt.; 2) lebih
mencintai akhirat daripada dunia; 3) tidak takut mati; 4) tidak
ragu-ragu; 5) tidak menomorsatukan kekuatan materi; 6) tawakkal dan
yakin akan pertolongan Allah Swt.; dan 7) karena hasil pendidikan.
Itulah beberapa bentuk akhlak mulia manusia terhadap dirinya sendiri.
Masih banyak bentuk akhlak mulia yang lain yang harus dilakukan oleh
seseorang yang tidak dapat diuraikan satu persatu. Di antara
bentuk-bentuknya yang lain adalah 1) istiqamah (konsisten), 2) amanah
(terpercaya), 3) shiddiq (jujur), 4) menepati janji, 5) adil, 6)
tawadlu’ (rendah hati), 7) malu (berbuat jelek), pemaaf, 9) berhati
lembut, 10) setia, 11) kerja keras, 12) tekun, 13) ulet, 14) teliti, 15)
disiplin, 16) berinisiatif, 17) percara diri, dan 18) berpikir positif.
Sikap dan perilaku mulia seperti ini harus diupayakan secara bertahap
dan berkesinambungan, sehingga terwuud pribadi yang berkarakter yang
dapat menampilkan dirinya dengan kepribadian yang utuh dan mulia di
tengah-tengah masyarakat.
- 2. Akhlak dalam lingkungan keluarga
Di samping harus berakhlak mulia terhadap dirinya, setiap Muslim
harus berakhlak mulia dalam lingkungan keluarganya. Pembinaan akhlak
mulia dalam lingkungan keluarga meliputi hubungan seseorang dengan orang
tuanya, termasuk dengan guru-gurunya, hubungannya dengan orang yang
lebih tua atau dengan yang lebih muda, hubungan dengan teman sebayanya,
dengan lawan jenisnya, dan dengan suami atau isterinya serta dengan
anak-anaknya.
Menjalin hubungan dengan orang tua atau guru memiliki kedudukan yang
sangat istimewa dalam pembinaan akhlak mulia di lingkungan keluarga.
Guru juga bisa dikategorikan sebagai orang tua kita. Orang tua nomor
satu adalah orang tua yang melahirkan kita dan orang tua kedua adalah
orang tua yang memberikan kepandaian kepada kita. Islam menetapkan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang tua (birr al-walidain) adalah
wajib dan merupakan amalan utama (QS. al-Isra’ (17): 23-24 dan HR.
al-Bukhari dan Muslim). Berakhlak mulia dengan kepada orang tua bisa
dilakukan di antaranya dengan 1) mengikuti keinginan dan saran kedua
orang tua dalam berbagai aspek kehidupan; 2) menghormati dan
memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih
sayang atas jasa-jasa keduanya; 3) membantu kedua orang tua secara fisik
dan material; 4) mendoakan kedua orang tua agar selalu mendapatkan
ampunan, rahmat, dan karunia dari Allah (QS. al-Isra’ (17): 24); dan 5)
jika kedua orang tua telah meninggal, maka yang harus dilakukan adalah
mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya, melunasi hutang-hutangnya,
melaksanakan wasiatnya, meneruskan silaturrahim yang dibina orang tua di
waktu hidupnya, memuliakan sahabat-sahabatnya, dan mendoakannya. Jadi,
kita wajib berbuat baik kepada kedua orang tua kita (birr al-walidain) dan jangan sekali-kali kita durhaka kepada keduanya. Hal yang hampir sama juga harus kita lakukan terhadap guru-guru kita.
Untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang lebih tua, yang kita
lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan terhadap kedua
orang tua dan guru, selama orang yang lebih tua itu patut untuk
diperlakukan seperti itu. Jika mereka adalah saudara kita, maka kita
harus memberikan penghormatan yang sebaik-baiknya, apalagi jika mereka
adalah saudara dari bapak atau ibu kita. Ketika kedua orang tua kita
sudah meninggal, mereka dapat mengganti kedudukan kedua orang tua kita.
Jika mereka itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus
menghormatinya, selama mereka layak untuk dihormati. Sedang dengan
orang-orang yang lebih muda, jika mereka saudara kita, kita harus
memberikan kasih sayang kita yang sepenuhnya dengan ikut merawat mereka,
membimbing, mendidik, dan membantu mereka jika mereka membutuhkan
bantuan kita. Jika mereka bukan saudara kita, kita tetap harus
menyayangi mereka dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka,
jangan sekali-kali kita menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari segi fisik
maupun mental atau kejiwaan mereka.
Dalam berhubungan dengan teman-teman sebaya kita harus dapat bergaul
dengan sebaik-baiknya. Mereka ini adalah orang-orang yang sehari-harinya
bergaul dengan kita dan menemani kita baik di kala suka maupun di kala
duka. Yang dapat kita lakukan misalnya adalah saling memberi salam
setiap bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling
berjabat tangan, kecuali jika mereka itu lawan jenis kita, saling
menyambung tali silaturrahim dengan mereka, saling memahami kelebihan
dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga
segala macam bentuk kesalahfahaman dapat dihindari, saling
tolong-menolong, bersikap rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong
kepada mereka, saling mengasihi dengan mereka, memberi perhatian
terhadap keadaan mereka, selalu membantu keperluan mereka, apalagi jika
mereka meminta kita untuk membantu, ikut menjaga mereka dari gangguan
orang lain, saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran,
mendamaikan mereka bila berselisih, dan saling mendoakan dengan
kebaikan.
Terkait dengan pembinaan akhlak mulia terhadap orang-orang yang
menjadi lawan jenis kita, Islam memberikan aturan yang khusus yang harus
kita pegangi dalam rangka bergaul dengan mereka. Di antara ketentuan
itu adalah 1) Tidak melakukan khalwat, yaitu berdua-duaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak mempunyai hubungan suami isteri dan tidak pula mahram
tanpa ada orang ketiga; 2) tidak melakukan jabat tangan, kecuali
terhadap suami atau isterinya, atau terhadap mahramnya; 3) mengurangi
pandangan mata, kecuali yang memang benar-benar perlu; 4) tidak boleh
menampakkan aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga tidak boleh saling
melihat aurat satu sama lain; dan 5) tidak melakukan hal-hal yang
menjurus kepada perzinaan, seperti bergandengan tangan, berciuman,
berpelukan, dan yang sejenisnya. Hubungan antar lawan jenis ini menjadi
berubah ketentuannya ketika keduanya sudah menjalin hubungan pernikahan
(sudah menjadi suami-isteri). Hubungan antara keduanya yang semula haram
menjadi halal, bahkan bisa bernilai ibadah. Keduanya menjadi satu
kesatuan dalam keluarga yang bersama-sama bertanggung jawab membawa
keutuhan keluarga, termasuk anak-anak mereka. Kewajiban keduanya selaku
orang tua terhadap anaknya, di samping memberikan kasih sayang
kepadanya, juga harus melindunginya, merawatnya , dan mendidiknya hingga
menjadi manusia dewasa yang utuh kepribadiannya dan siap membina rumah
tangga.
- 3. Akhlak di tengah-tengah masyarakat
Yang dimaksud dengan pembinaan akhlak mulia di tengah masyarakat di
sini adalah menjalin hubungan baik yang tidak terfokus hanya pada
pergaulan antar manusia secara individual, tetapi lebih terfokus pada
perilaku kita dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti bagaimana
bersikap sopan ketika kita sedang bepergian, ketika dalam berkendaraan,
ketika bertamu dan menerima tamu, ketika bertetangga, ketika makan dan
minum, ketika berpakaian, serta ketika berhias.
Salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap
Muslim adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain. Orang lain
bisa diartikan sebagai orang yang selain dirinya, baik keluarganya
maupun di luar keluarganya. Orang lain juga bisa diartikan orang yang
bukan termasuk dalam keluarganya, bisa temannya, tetangganya, atau orang
yang selain keduanya. Dalam konteks beragama, orang lain bisa juga
diartikan orang yang tidak seiman dengan kita, atau orang yang tidak
memeluk agama Islam.
Terhadap orang lain yang seiman (sesama Muslim), kita harus membina
tali silaturrahim dan memenuhi hak-haknya seperti yang dijelaskan dalam
hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya, Nabi Saw. menyebutkan
adanya lima hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya, yaitu 1) apabila
bertemu, berilah salam kepadanya, 2) mengunjunginya, apabila ia (Muslim
lain) sedang sakit, 3) mengantarkan jenazahnya, apabila ia meninggal
dunia, 4) memenuhi undangannya, apabila ia mengundang, dan 5)
mendoakannya, apabila ia bersin (HR. al-Bukhari dan Muslim). Terhadap
suami atau isteri dan anak-anak kita, kita harus saling menjalin
hubungan kasih sayang demi ketenteraman keluarga kita. Terhadap
tetangga, kita harus selalu berbuat baik. Jangan sampai kita menyakiti
tetangga kita (HR. al-Bukhari). Terhadap tamu, kita harus memuliakan dan
menghormatinya. Nabi memerintahkan kepada kita agar selalu memuliakan
tamu (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan segera menyambut kedatangannya
serta mengantarkan kepergiannya. Terhadap orang alim (ulama) dan
cendekiawan, kita harus menghormati keluasan ilmunya dan berusaha untuk
selalu bergaul dan mendekatinya. Terhadap para pemimpin, kita harus
menaati mereka selama tidak menyimpang dari aturan agama. Menaati
pemimpin yang benar berarti menaati Allah Swt. (HR. al-Bukhari dan
Muslim). Jika mampu kita harus memberikan saran dan nasehat yang baik
kepada mereka demi kemajuan yang dipimpinnya.
Adapun terhadap orang-orang yang lemah, seperti fakir miskin dan anak
yatim, kita harus berbuat baik dengan menyantuni mereka, memberikan
makanan dan pakaian kepada mereka, dan melindungi mereka dari gangguan
yang membahayakan mereka. Jangan sekali-kali kita berlaku
sewenang-wenang kepada anak yatim dan menghardik orang yang minta-minta
(QS. al-Dluha (93): 9-10).
Terhadap mereka yang tidak seiman, Islam memberikan beberapa batasan
khusus seperti tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan dengan mereka,
tidak memberi salam kepada mereka, dan tidak meniru cara-cara mereka.
Ukuran hubungan dengan mereka yang tidak seiman adalah selama tidak
masuk pada ranah aqidah dan syariah. Di luar kedua hal ini, Islam tidak
melarang kita berhubungan dengan mereka. Terhadap mereka yang mengancam
agama kita, kita harus berbuat tegas (QS. al-Mumtahanah (60): 9). Dan
jika mereka berkhianat, kita pun harus memerangi mereka (QS. al-Anfal (8): 56-57).
Itulah beberapa cara dalam rangka membina akhlak mulia di
tengah-tengah masyarakat secara umum. Secara khusus bentuk-bentuk akhlak
mulia di masyarakat ini dapat dilakukan dengan cara 1) menyayangi yang
lemah; 2) menyayangi anak yatim; 3) suka menolong; 4) bersijap pemurah
dan dermawan; 5) melakukan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar); 6) menaati ulama dan
ulil amri; 7) bersikap toleran; dan sopan dalam bepergian, dalam
berkendaraan, dalam bertamu dan menerima tamu, dalam bertetangga, dalam
makan dan minum, dan dalam berpakaian.
Penutup
Itulah beberapa bentuk akhlak mulia dan tatacaranya yang dapat
dilakukan dalam rangka pembinaan akhlak antar sesama manusia. Tentu saja
uraian ini tidak mencakup keseluruhan bagian-bagian dari keseluruhan
masalahnya. Untuk lebih lanjut silahkan diikuti uraian-uraian yang lebih
luas di literatur lain.
Yang terpenting ditegaskan di sini adalah pembinaan akhlak mulia
bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Artinya sesulit apapun pembinaan akhlak mulia ini bisa dilakukan, ketika
ada komitmen (niat) yang kuat untuk melakukannya dan didukung oleh
usaha keras serta selalu bertawakkal dan mengharap rido dari Allah Swt.
bukan tidak mungkin akhlak mulia ini akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sikap dan perilaku sehari-hari.
Daftar Pustaka
Ainain, Ali Khalil Abu. 1985. Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
Al-Ghazali, Imam. 1995. Teosofia Al-Qur’an. Terj. oleh M. Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad. Surabaya: Risalah Gusti.
Al-Hadits al-Nabawiy.
Al-Jarjani, ‘Ali Ibn Muhammad. 1988. Kitab al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qura’an al-Karim.
Ary Ginanjar Agustian. 2005. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit Arga.
Faisal Ismail. 1988. Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titihan Ilahi Press.
Muka Sa’id. 1986. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Sultani, Gulam Reza. 2004. Hati yang Bersih Kunci Ketenangan Jiwa. Terj. oleh Abdullah Ali. Jakarta: Pustaka Zahra.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. Pertama Edisi III.
Yunahar Ilyas. 2004. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI UMY. Cet. IV.
sumber :
http://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/pembinaan-akhlak-mulia-dalam-berhubungan-antar-sesama-manusia-dalam-perspektif-islam/
COMMENTS